Loading...

5 Tokoh Penting dalam Sejarah Lahirnya Ilmu Sosiologi Modern

Advertisement
Sebenarnya pemikiran tentang masyarakat sudah ada sejak dulu. Sebelum Auguste Comte, yang dianggap sebagai titik tolak sosiologi, sudah banyak orang yang mencoba menelaah masyarakat secara sistematis, antara lain Plato, Aristoteles, Ibnu Khaldun, John Locke, dan J.J. Rousseau. Akan tetapi, penelitian mereka masih tercampur dengan disiplin ilmu lain, seperti, politik, psikologi, sejarah, dan sebagainya.

Dengan demikian, lahirnya sosiologi sebagai ilmu baru dihitung sejak Auguste Comte. Berikut ini akan dibahas beberapa tokoh penting dalam sejarah lahirnya ilmu sosiologi modern dimulai dari Auguste Comte. Untuk itu silahkan kalian simak baik-baik penjelasan berikut ini. Selamat belajar dan membaca, semoga bisa paham.

1. Auguste Comte (1789  1857)
Perkataan ”sosiologi” pertama kali diciptakan pada tahun 1839 oleh Auguste Comte, seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis. Comte-lah yang pertama kali menggunakan nama ”sosiologi”. Selain itu, Comte memberi sumbangan yang begitu penting terhadap sosiologi. Oleh karena itu, para ahli umumnya sepakat untuk menjulukinya sebagai ”Bapak Sosiologi”.

Comte sangat berjasa terhadap sosiologi. Beberapa sumbangan penting Comte terhadap sosiologi sebagai berikut.
 Ia mengatakan bahwa ilmu sosiologi harus didasarkan pada pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis secara sistematik. Objek yang dikaji pun harus berupa fakta artinya bukan harapan atau prediksi. Jadi, harus objektif dan harus pula bermanfaat dan mengarah kepada kepastian dan kecermatan.
 Ia mengatakan pula bahwa sosiologi merupakan ratu ilmu-ilmu sosial, dan menempati peringkat teratas dalam hierarki ilmu-ilmu sosial.
 Ia membagi sosiologi ke dalam dua bagian besar, yaitu statika sosial yang mewakili stabilitas atau kemantapan, dan dinamika sosial yang mewakili perubahan.
 Ia menyumbangkan pemikiran yang mendorong perkembangan sosiologi dalam bukunya Positive Philosophy yang dikenal dengan hukum kemajuan manusia atau hukum tiga jenjang. Dalam menjelaskan gejala alam dan gejala sosial, manusia akan melewati tiga jenjang berikut.
 Jenjang I (jenjang teologi): segala sesuatu dijelaskan dengan mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati.
 Jenjang II (jenjang metafisika): pada jenjang ini manusia memahami sesuatu dengan mengacu kepada kekuatan-kekuatan metafisik atau hal-hal yang abstrak.
 Jenjang III (jenjang positif): gejala alam dan sosial dijelaskan dengan mengacu kepada deskripsi ilmiah (jenjang ilmiah).

2. Karl Marx (1818  1883)
Karl Marx lebih dikenal sebagai tokoh sejarah ekonomi daripada seorang perintis sosiologi dan ahli filsafat. Karl Marx mengembangkan teori mengenai sosialisme yang kemudian dikenal dengan nama ”Marxisme”. Meskipun demikian, Marx merupakan seorang tokoh teori sosiologi yang terkenal juga. Sumbangan Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas.

Marx berpandangan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx, perkembangan pembagian kerja dalam ekonomi kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda, yaitu kaum proletar dan kaum borjuis.
 Kaum proletar adalah kelas yang terdiri atas orang-orang yang tidak mempunyai alat produksi dan modal sehingga dieksploitasi untuk kepentingan kaum kapitalis.
 Kaum borjuis (kaum kapitalis) adalah kelas yang terdiri atas orangorang yang menguasai alat-alat produksi dan modal.

Menurut Marx, pada suatu saat kaum proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka sehingga bersatu dan memberontak terhadap kaum kapitalis. Mereka akan memperoleh kemenangan yang akan mengakibatkan terhapusnya pertentangan kelas sehingga masyarakat proletar akan mendirikan masyarakat tanpa kelas.

3. Herbert Spencer (1820  1903)
Herbert Spencer, orang Inggris, pada tahun 1876 mengetengahkan sebuah teori tentang ”evolusi sosial”, yang hingga kini masih dianut walaupun di sana-sini ada perubahan. la menerapkan secara analog teori Darwin mengenai ”teori evolusi” terhadap masyarakat manusia. la yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri.
teori evolusi sosial Herbert Spencer
Spencer membagi tiga aspek dalam proses evolusi, yaitu diferensiasi struktural, spesialisasi fungsional, dan integrasi yang meningkat. Lalu Spencer membagi stuktur-struktur, bagian-bagian, atau sistem-sistem yang timbul dalam evolusi masyarakat menjadi tiga.
 Sistem pengatur, berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan dengan masyarakat lainnya dan mengatur hubungan-hubungan yang terjadi di antara anggotanya.
 Sistem penopang, berfungsi untuk mencukupi keperluan-keperluan bagi ketahanan hidup anggota masyarakat.
 Sistem pembagi, berfungsi untuk mengangkut barang-barang dari suatu sistem ke sistem lainnya.

Tahap-tahap dalam proses evolusi sosial dengan tipe-tipe masyarakat, dibagi oleh Spencer menjadi tiga bagian sebagai berikut.

1. Tipe Masyarakat Primitif

Pada masyarakat primitif dikatakan bahwa belum ada diferensiasi dan spesialisasi fungsional. Pembagian kerja masih sedikit. Hubungan kekuasaan belum jelas terlihat. Masyarakat dengan tipe ini sangat tergantung kepada lingkungan. Kerja sama sudah terjadi dengan spontan dan didukung oleh hubungan kekeluargaan.

2. Tipe Masyarakat Militan
Pada masyarakat militan ini, heterogenitas sudah mulai meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk atau karena penaklukan. Hal yang penting ialah koordinasi tugas-tugas yang dikhususkan, dilakukan dengan paksaan. Cara ini memerlukan sistem-sistem atau bagian-bagian yang dapat mengatur dirinya sendiri. Kerja sama yang tidak sukarela ini dijamin keberlangsungannya oleh seorang pemimpin, kemudian oleh negara secara nasional. Pengendalian oleh negara terbatas pada produksi, distribusi, dan pada bidang-bidang kehidupan.

3. Tipe Masyarakat Industri
Pada masyarakat industri bercirikan suatu tingkat kompleksitas yang sangat tinggi, yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuasaan negara. Sebagai penggantinya masyarakat mengendalikan diri sendiri, seperti hak menentukan diri sendiri, kerja sama sukarela, dan keseimbangan berbagai kepentingan. Kondisi ini mengakibatkan individualisasi yang ditandai dengan berkurangnya campur tangan pemerintah daerah.

4. Emile Durkheim (1858  1917)
Durkheim merupakan salah seorang peletak dasar-dasar sosiologi modern. Durkheim terpengaruh oleh tradisi para pemikir bangsa Perancis dan Jerman. Contoh:
 Memandang De Saint Simon sebagai orang yang meletakkan dasar metode positivisme, pelopor industrialisme, dan pembagian kerja, yang selanjutnya menjadi tema penting dalam karya Durkheim.
 Memuji Auguste Comte atas penekanan pada sifat khas hal ihwal sosial dan kesatuan metode dalam berbagai ilmu.
 Sependapat dengan Montesquieu bahwa gejala-gejala sosial merupakan jenis tersendiri, juga sependapat tentang morfologi sosial dan metode perbandingan.
 Sependapat dengan Rousseau bahwa orang-orang memerlukan aturan kolektif bagi perilaku mereka, yang mereka interaksikan dalam proses pendidikan.

Semua pengaruh ini diolah dengan kreatif oleh Durkheim sehingga sumbangannya sangat mengesankan dan berpengaruh besar terhadap perkembangan sosiologi abad ke-20. Durkheim dalam karya besarnya yang pertama, membahas masalah pembagian kerja yang berfungsi untuk meningkatkan solidaritas.

Pembagian kerja yang berkembang pada masyarakat tidak mengakibatkan disintegrasi masyarakat yang bersangkutan, tetapi justru meningkatkan solidaritas karena bagian-bagian dari masyarakat menjadi saling tergantung satu sama lain. Ada dua tipe utama solidaritas menurut Durkheim, yaitu solidaritas mekanis dan organis.
1. Solidaritas Mekanis
Tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan. Bisa dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana dan mempunyai struktur sosial yang bersifat segmenter. Struktur sosial terdiri atas segmensegmen yang homogen dan kurang menunjukkan keterpaduan. Dalam masyarakat ini, semua anggotanya mempunyai kesadaran kolektif yang sama. Apabila satu segmen hilang maka kehilangan ini boleh dikatakan tidak berpengaruh terhadap keseluruhan struktur masyarakat.

2. Solidaritas Organis
Merupakan sistem terpadu dalam organisme yang didasarkan atas keragaman fungsi-fungsi demi kepentingan keseluruhan. Setiap organ memiliki ciri-cirinya masing-masing yang tidak dapat diambil alih oleh organ yang lain. Dalam masyarakat solidaritas organis terdapat saling ketergantungan yang besar sehingga mengharuskan adanya kerja sama.

5. Max Weber (1864  1920)
Max Weber berpendapat bahwa metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam tidak dapat diterapkan begitu saja pada masalah-masalah yang dikaji dalam ilmu-ilmu sosial. Menurut beliau, karena para ilmuwan sosial mempelajari dunia sosial di mana mereka hidup, tentu ada hal-hal yang subjektif dalam penelitian mereka. Oleh karena itu, sosiologi seharusnya ”bebas - nilai” (value free), tidak boleh terdapat bias yang mempengaruhi penelitian dan hasil-hasilnya.

Ia menyebutkan bahwa sosiologi ialah ilmu yang berupaya memahami tindakan sosial. Dalam analisis yang dilakukan Weber terhadap masyarakat, konflik menduduki tempat sentral. Konflik merupakan unsur dasar kehidupan manusia dan tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan budaya. Manusia dapat mengubah sarana, objek, asas-asas, atau pendukung-pendukungnya, tetapi tidak dapat membuang konflik itu sendiri.

Konflik terletak pada dasar integrasi sosial maupun perubahan sosial. Hal ini terlihat paling nyata dalam politik dan dalam persaingan ekonomi. Max Weber adalah seorang ilmuwan yang produktif dan berhasil menulis sejumlah buku. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Ia mengemukakan pendapatnya yang terkenal mengenai keterkaitan antara etika Protestan dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.

Menurut Weber, muncul dan berkembangnya kapitalisme berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan sekte kalvinisme dalam agama Protestan. Ajaran kalvinisme mengharuskan umatnya bekerja keras, disiplin, hidup sederhana, dan hemat. Keuntungan yang diperoleh melalui kerja keras ini tidak digunakan untuk berfoya-foya atau konsumsi berlebihan karena ajaran kalvinisme mewajibkan hidup sederhana dan melarang bentuk kemewahan dan foya-foya.

Dampak positifnya, penganut agama Protestan menjadi makmur sebab keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha tidak dikonsumsi, tetapi ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara itulah, menurut Weber, kapitalisme di Eropa Barat berkembang dengan baik.

Post a Comment

Mohon berkomentar secara bijak dengan bahasa yang sopan dan tidak keluar dari topik permasalahan dalam artikel ini. Dan jangan ikut sertakan link promosi dalam bentuk apapun.
Terimakasih.

emo-but-icon

Home item

Materi Terbaru